Pengelolaanaset desa khususnya yang terkait dengan pemanfaatan dan pemindahtanganan yang sudah berjalan dan/atau sedang dalam proses sebelum ditetakannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2016, tetap dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri mengenai Pengelolaan Aset Desa ini.
BerandaKlinikKenegaraan5 Tahap Proses Pembe...Kenegaraan5 Tahap Proses Pembe...KenegaraanJumat, 22 Juli 2022Mohon penjelasannya tentang apa itu peraturan daerah dan lembaga apa yang berwenang membentuk peraturan daerah? Selain itu, bagaimanakah proses pembentukan peraturan daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku?Untuk menyederhanakan jawaban, kami akan membahas proses pembentukan peraturan daerah provinsi. Setidaknya terdapat 5 tahap pembentukan peraturan daerah provinsi yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan/pengesahan dan pengundangan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca dalam ulasan di bawah ini. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Peran Masyarakat dalam Pembentukan Perda yang dibuat oleh Sovia Hasanah, dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 20 November 2017. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Muatan Peraturan DaerahPeraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh daerah yang terdiri dari provinsi dan kabupaten/kota.[1] Peraturan daerah dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah. Untuk peraturan daerah provinsi, dibentuk oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama gubernur.[2] Sedangkan, peraturan daerah kabupaten atau kota dibuat oleh DPRD kabupaten/kota dengan persetujuan bersama bupati/walikota.[3]Adapun, materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota adalah materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah; dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[4]Contoh peraturan daerah provinsi yaitu Perda Propinsi DKI Jakarta 8/2007 tentang ketertiban umum. Sedangkan contoh peraturan daerah kabupaten yaitu Perda Kabupaten Badung 5/2013 tentang retribusi pengendalian menara Pembentukan Peraturan DaerahUntuk menyederhanakan jawaban, kami akan bahas mengenai proses pembentukan peraturan daerah provinsi. Secara umum, mekanisme penyusunan peraturan daerah “perda” terbagi menjadi 5 tahap, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan/pengesahan dan pengundangan. Baca juga Proses Pembentukan Undang-Undang di IndonesiaPerencanaanPerencanaan penyusunan peraturan daerah provinsi dilakukan dalam Program Legislasi Daerah “prolegda” provinsi. Prolegda provinsi memuat program pembentukan peraturan daerah provinsi dengan judul rancangan peraturan daerah provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.[5]Materi yang diatur merupakan keterangan mengenai konsepsi rancangan peraturan daerah provinsi yang meliputi[6]latar belakang dan tujuan penyusunan;sasaran yang ingin diwujudkan;pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; danjangkauan dan arah yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik.[7]Dalam penyusunan prolegda provinsi, penyusunan daftar rancangan perda provinsi didasarkan atas[8]perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi;rencana pembangunan daerah;penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; danaspirasi masyarakat penyusunan prolegda provinsi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi disepakati menjadi prolegda provinsi dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD provinsi. Prolegda provinsi ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.[9] Selain melalui prolegda, rancangan peraturan daerah juga dapat direncanakan penyusunannya dengandimuat dalam daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas akibat putusan Mahkamah Agung, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan perda provinsi yang dibatalkan, diklarifikasi, atau atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;[10]perencanaan penyusunan di luar prolegda, di mana pemrakarsa dapat mengajukan rancangan perda provinsi di luar prolegda provinsi berdasarkan izin prakarsa dari gubernur dengan syarat dalam keadaan tertentu seperti untuk mengatasi kejadian luar biasa seperti konflik atau bencana alam, akibat kerja sama dengan pihak lain dan keadaan tertentu lain yang urgen untuk membentuk perda dengan persetujuan bersama Balegda dan biro hukum.[11]PenyusunanRancangan perda provinsi dapat berasal dari DPRD provinsi atau gubernur.[12] Selain itu, rancangan perda provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.[13] Rancangan perda provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.[14]Tahap penyusunan rancangan perda provinsi adalah sebagai berikutPenyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang memuat paling sedikit pokok pikiran dan materi muatan yang akan diatur di dalam perda provinsi yang disiapkan oleh pemrakarsa;[15]Biro hukum pemerintah daerah provinsi melakukan penyelarasan naskah akademik yang diterima satuan kerja perangkat daerah provinsi yang dilaksanakan dalam rapat penyelarasan dengan melibatkan pemangku kepentingan;[16]Gubernur memerintahkan pemrakarsa untuk menyusun rancangan perda provinsi berdasarkan prolegda provinsi dengan membentuk tim penyusun yang terdiri dari gubernur, sekda, pemrakarsa, biro hukum, satuan kerja perangkat daerah terkait dan perancang peraturan perundang-undangan;[17]Dalam penyusunan rancangan perda provinsi, tim penyusun dapat mengundang peneliti dan/atau tenaga ahli dari perguruan tinggi atau organisasi kemasyarakatan sesuai kebutuhan;[18]Rancangan perda provinsi yang telah disusun diberi paraf koordinasi oleh tim penyusun dan pemrakarsa;[19]Pengharmonisasaian, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang dikoordinasikan oleh kepala biro hukum dan dapat melibatkan instansi vertikal dari kementerian bidang hukum;[20]Rancangan perda dibubuhi paraf persetujuan dari pemrakarsa dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah provinsi dan disampaikan sekda kepada gubernur. [21]Pembahasan Pembahasan rancangan peraturan daerah provinsi dilakukan oleh DPRD provinsi bersama gubernur. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.[22]Secara lebih rinci, berikut tahapan pembahasan rancangan peraturan daerah provinsiRancangan perda provinsi yang berasal dari gubernur disampaikan dengan surat pengantar kepada pimpinan DPRD Provinsi yang memuat latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran dan materi pokok yang diatur yang menggambarkan substansi rancangan perda;[23]Rancangan perda provinsi dari DPRD provinsi disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPRD provinsi kepada gubernur untuk dilakukan pembahasan yang memuat latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran dan materi pokok yang diatur serta menggambarkan substansi rancangan perda;[24]Pembicaraan tingkat I yang meliputi[25]Rancangan Perda Provinsi dari GubernurRancangan Perda Provinsi dari DPRD ProvinsiPenjelasan gubernur dalam rapat paripurna mengenai rancangan perdaPenjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Balegda, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai rancangan perdaPemandangan umum fraksi terhadap rancangan perdaPendapat gubernur terhadap rancangan perdaTanggapan dan/atau jawaban gubernur terhadap pemandangan umumTanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat gubernurPembicaraan tingkat II terdiri dari keputusan rapat paripurna yang didahului dengan laporan pimpinan komisi/gabungan komisi/panitia khusus yang berisi pendapat fraksi serta hasil pembahasan dan permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna dan diakhiri dengan pendapat akhir gubernur.[26]Jika dalam pembicaraan tingkat II rancangan perda provinsi tidak dapat dicapai persetujuan melalui musyawarah, maka keputusan didasarkan pada suara terbanyak.[27]Adapun jika rancangan perda provinsi tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD provinsi dan gubernur, maka rancangan perda tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD Provinsi pada masa sidang itu.[28]Penetapan/PengesahanRancangan perda provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD provinsi kepada gubernur untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah provinsi. Penyampaian rancangan perda provinsi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.[29]Rancangan perda provinsi ditetapkan oleh gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak rancangan perda provinsi disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur.[30]Dalam hal rancangan perda provinsi tidak ditandatangani oleh gubernur dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan perda provinsi tersebut disetujui bersama, rancangan perda provinsi tersebut sah menjadi peraturan daerah provinsi dan wajib diundangkan.[31]Naskah yang telah ditandatangani gubernur dibubuhi nomor dan tahun oleh sekda provinsi.[32] Adapun jika lebih dari 30 hari naskah tidak ditandatangani gubernur maka ditulis kalimat pengesahan oleh sekda provinsi yang berbunyi “Peraturan Daerah ini dinyatakan sah” di halaman terakhir naskah perda, yang kemudian dibubuhi nomor dan tahun oleh sekda provinsi.[33]PengundanganPeraturan daerah provinsi diundangkan dalam Lembaran Daerah oleh sekda.[34] Adapun penjelasan perda provinsi diundangkan dalam Tambahan Lembaran Daerah.[35] Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.[36] Baca juga Status Kekuatan Hukum Rancangan Peraturan Daerah RaperdaDemikian jawaban dari kami tentang proses pembentukan peraturan daerah, semoga HukumUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum;Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 5 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.[2] Pasal 1 angka 7 UU 15/2019[3] Pasal 1 angka 8 UU 15/2019[4] Pasal 14 UU 12/2011[5] Pasal 32 dan Pasal 33 ayat 1 UU 12/2011[6] Pasal 33 ayat 2 UU 12/2011[7] Pasal 33 ayat 3 UU 12/2011[8] Pasal 35 UU 12/2011[9] Pasal 37 UU 12/2011[11] Pasal 33 jo. Pasal 41 Perpres 87/2014[12] Pasal 56 ayat 1 UU 12/2011[13] Pasal 60 ayat 1 UU 12/2011[14] Pasal 56 ayat 2 UU 12/2011[15] Pasal 67 Perpres 87/2014[16] Pasal 68 Perpres 87/2014[17] Pasal 70 Perpres 87/2014[18] Pasal 71 Perpres 87/2014[19] Pasal 73 Perpres 87/2014[20] Pasal 74 dan Pasal 75 Perpres 87/2014[21] Pasal 76 Perpres 87/2014[22] Pasal 75 ayat 1, 2 dan 3 UU 12/2011[23] Pasal 94 jo. Pasal 95 ayat 1 Perpres 87/2014[24] Pasal 98 jo. Pasal 99 ayat 1 Perpres 87/2014[25] Pasal 104 huruf a dan b Perpres 87/2014[26] Pasal 105 Perpres 87/2014[27] Pasal 106 ayat 1 Perpres 87/2014[28] Pasal 106 ayat 2 Perpres 87/2014[29] Pasal 78 UU 12/2011[30] Pasal 79 ayat 1 UU 12/2011[31] Pasal 79 ayat 2 UU 12/2011[32] Pasal 117 ayat 3 Perpres 87/2014[33] Pasal 118 Perpres 87/2014[34] Pasal 86 ayat 1 UU 12/2011[35] Pasal 157 Perpres 87/2014[36] Pasal 87 UU 12/2011Tags2 Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. 3. Pasal 24 mengatur bahwa setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah, yakni untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. Peraturan Daerah Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Perda dalam implementasinya merupakan peraturan perundang-undangan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-perundang-undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang Selain itu, Perda juga dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas Namun demikian, catatan penting untuk Perda adalah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih Institusi yang berwenang membentuk Perda adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan Kepala Daerah. Perda dibedakan antara Perda Provinsi, yang dibuat dan disahkan bersama-sama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur serta Perda Kabupaten/Kota, yang mana dibuat dan sisahkan secara bersama-sama oleh DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Perda dapat merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka 110 Pasal 1 Angka 7 dan 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Lihat juga pada Pasal 136 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 111 Pasal 136 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 112 Pasal 136 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 113 Pasal 136 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 58 pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena sebagai pelaksanaan dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, maka materi substansi Perda tidak boleh bertentangan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkat pusat. Sedangkan untuk Perda dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Perda tersebut tidak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkat pusat, tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi kemampuan daerah masing-masing namun tetap tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perda dalam posisi secara politis sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Perda adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi substansi Perda tertentu, misalnya materi mengenai retribusi. Perda merupakan produk hukum daerah yang dibuat oleh DPRD Provinsi/Kabupate/Kota dan Kepala Daerah tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota. Pemerintahan daerah adalah institusi yang merepresentasikan daerah otonom, yang memiliki hak untuk membentuk Perda dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah. Hak ini didasarkan pada Pasal 18 ayat 6 Undang-Undang Dasar RI 1945 yang menjelaskan bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan 59 daerah dan peraturan lain untuk melaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Secara eksplisit Pasal 1 ayat 7 ini menegaskan bahwa DPRD adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk Perda. Sebagai perbandingan, definisi Perda Kabupaten/Kota dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 diatur pada Pasal 1 angka 8 dengan definisi sama yaitu Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Menelaah Perda tidak dapat dilepaskan dari pembahasan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam konteks ini didefinisikan sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara Istilah peraturan perundang-undangan berasal dari kata undang-undang yang merujuk pada jenis atau bentuk peraturan yang dibuat oleh negara. Istilah “peraturan perundang-undangan” digunakan oleh A Hamid S Attamimi, Sri 114 Terkait dengan definisi peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai revisi dari UU Nomor 10 Tahun 2004 pada posisi yang sama yaitu pada Pasal 1 angka 2. 60 Soemantri, dan Bagir Menurut A Hamid S Attamimi, istilah tersebut berasal dari istilah “wettelijke regels” atau “wettelijke regeling”. Attamimi memberikan batasan peraturan perundang-undangan adalah peraturan negara, di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik bersifat atribusi maupun bersifat delegasi. Dalam kesempatan lainnya, Attamimi membatasinya dengan semua aturan hukum yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga negara dalam bentuk tertentu, dengan prosedur tertentu, yang biasanya disertai dengan sanksi dan berlaku umum serta mengikta Sementara Bagir Manan mendefinisikan peraturan perundang-undangan dengan setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai menjalankan fungsi legislatif sesuai dengan tatacara yang Istilah peraturan perundang-undangan berasal dari kata undang-undang yang merujuk pada jenis atau bentuk peraturan yang dibuat oleh negara. Menutur ilmu pengetahuan hukum, setidaknya terdapat 3 tiga landasan undangan yang harus dipenuhi dalam menyusun peraturan perundang-undangan yakni filosofis, sosiologis dan 1. Landasan Filosofis 115 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Bandung Mondar Maju, 1998, hal. 18. 116 Ibid. 117 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang..., hal. 18-19. Lihat juga pada Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung Penerbit Armico, 1987, hal. 13. 118 Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia Prerspektif Konstitusional, Jogjakarta Total Media, 2009, hal. 229-230 61 Landasan filosofis peraturan perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa peraturan perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilai-nilai cita hukum yang terkandung dalam Pancasila. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan. 2. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis peraturan perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara efektif. Peraturan perundang-undangan yang diterima oleh masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengarahan institusional untuk melaksanakannya. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu a. Teori kekuasaan Machttheorie secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat; b. Teori pengakuan, Annerkenungstheorie. Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku 3. Landasan Yuridis 62 Landasan yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan a. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, yang berarti bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. b. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan yang dibuat. c. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut tidak ditaati, maka peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan mengikat. d. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. NaskahAkademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Karo ( Tugas LEGAL DRAFTING ) November 04, 2020 NASKAH AKADEMIK. RANCANGAN PERATURAN DAERAH. KABUPATEN KARO. TENTANG. TATA CARA PELAKSANAAN PEMBAGIAN DANA BANTUAN COVID 19 . Oleh : Rormando Hutabarat (170600045) Novia Sri Dewi Br Ginting (170600084) Dosen Pengampu : Janus Sidabalok S.H, M.Hum Pemahaman terhadap konsepsi otonomi daerah masih memprihatinkan. Kepala daerah sering salah menafsirkan otonomi Dalam praktik, seperti dijelaskan Prof. Bhen, dalam bukunya, telah terjadi pelanggaran hukum dalam mekanisme pembatalan Perda. Sebab, pembatalannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Menteri. Padahal UU Pemda 2004 mengisyaratkan pengawasan Perda dilakukan Presiden. Bisa jadi, penyimpangan itu terkait rumusan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Di sini, pengawasan terhadap Perda dan Peraturan kepala Daerah dilakukan Mendagri. Anehnya lagi, pasal 37 ayat 1 PP ini menyebutkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibatalkan oleh Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri. Sementara pembatalan Peraturan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan lebih tinggi dilakukan Menteri Dalam Negeri dengan Permendagri.  Kekosongan dan kelemahan pengaturan ketiga produk hukum daerah tersebut diperumit lagi dengan lahirnya Permendagri No. 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah. Permendagri ini mengenai Peraturan Bersama Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah.  PP No. 79 Tahun 2005 juga membuat rancu tentang siapa yang membatalkan Perda. Di satu sisi disebut dibatalkan oleh Presiden dengan Perpres, tetapi di sisi lain dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui SK Menteri. Bentuk produk hukum yang membatalkan Peraturan Presiden dan Surat Keputusan Menteri akan membawa implikasi. Peraturan Presiden mengenal mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung, sedangkan SK tidak mengenalnya. Suatu SK digugat ke PTUN.  Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan itu turut memperkeruh praktik otonomi daerah di Indonesia. I Made Suwandi, Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, membenarkan sinyalemen itu. Kondisi ini, kata Made, diperparah kurangnya pemahaman terhadap hakekat otonomi daerah, disamping praktik otonomi daerah di Indonesia yang berbeda dengan di negara lain.  Kondisi demikian akan berimbas lebih jauh. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Safri Nugraha, menyatakan kesalahan pemahaman terhadap otonomi daerah itulah yang melahirkan tumpang tindih perizinan di banyak daerah. Masa ada puluhan izin dikeluarkan untuk lokasi yang sama, ujarnya.  Pengaturan mengenai pembentukan Peraturan Daerah Perda di Indonesia memperlihatkan ketidaktaatan asas. Menurut pasal 18 ayat 6 UUD 1945, Perda dan peraturan-peraturan lain ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Sementara, berdasarkan pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Perda dibuat oleh DPRD bersama kepada daerah. Sebaliknya, bagian Penjelasan Umum butir 7 UU Pemda tersebut, Perda dibuat oleh DPRD bersama dengan pemerintah daerah. Pada Undang-Undang yang sama, pasal 136, disebutkan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.  Ketidaktaatan asas ini merupakan salah satu kritik yang disampaikan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Prof. Bhenyamin Hoessein dalam diskusi mengiringi peluncuran bukunya Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi di Depok, Rabu 19/8. Selain itu, Prof. Bhen mengingatkan bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis atau setara. Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menghendaki hubungan provinsi dan kabupaten/kota bersifat hierarkis. Hal ini juga dapat dirujuk ke TAP No. IV/MPR/2000 yang menghendaki otonomi daerah yang bertingkat dari provinsi sampai ke desa. Tetapi kalau merujuk pada UU No. 10 Tahun 2004, Perda Provinsi berkedudukan lebih tinggi dibanding Perda Kabupaten/Kota.  Undang-Undang Pemda membedakan tiga jenis produk hukum daerah otonom dua produk hukum berupa pengaturan yaitu Perda dan Peraturan Kepala Daerah, dan satu berupa pengurusan SK Kepala Daerah. Dua yang pertama memiliki norma yang umum dan abstrak, sedangkan yang terakhir bersifat penetapan yang bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Pelanggaran hukumSetiap Perda wajib disampaikan kepada Pemerintah. Merujuk pada pasal 1 butir 1 UU Pemda, Pemerintah di sini adalah Presiden. Menurut Prof. Bhen, penyampaian Perda kepada Pemerintah adalah dalam rangka pengawasan refresif. Cuma, dari berbagai jenis produk hukum daerah otonom, termasuk Peraturan Desa, hanya Perda yang tunduk pada pengawasan refresif. Pasal 145 ayat 2 UU Pemda menentukan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan Perda, Provinsi atau Kabupaten/Kota, mestinya dilakukan oleh Presiden.